Eko Ernada. Foto/Istimewa
Dosen Hubungan Antar Negara Universitas Jember
KETIKA para pemimpin Arab berkumpul Di Kairo Di 4 Maret lalu, sorotan dunia tertuju Di mereka. Di balik ruangan megah yang menyimpan sejarah peradaban, tersirat harapan dan kegamangan. KTT Perserikatan Arab kali ini bukan sekadar agenda Politik Luar Negeri rutin, tetapi sebuah panggilan nurani Di Di puing-puing Gaza yang terus merintih. Di setiap jabat tangan dan senyum protokoler, ada Permintaan moral yang menggelayuti: bagaimana dunia Arab menyikapi luka yang terus menganga Di Palestina?
Didalam pertemuan ini, lahirlah sederet komitmen yang, Di atas Alattulis, tampak menjanjikan: Ide rekonstruksi Gaza tanpa pemindahan paksa, penolakan Di proyek AS yang hendak mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Di,” serta janji pendanaan Didalam Negeri-Negeri Teluk. Tetapi, janji-janji ini Berusaha Mengatasi ujian Di medan realitas. Sejarah Menunjukkan bahwa keputusan yang dihasilkan Di Tatakan perundingan sering kali berakhir Di kebuntuan eksekusi, terhambat Dari kepentingan politik dan Politik Luar Negeri yang saling bertabrakan.
Dilema Solidaritas dan Hubungan Dunia
Sejarah mengajarkan bahwa dunia Arab sering tersandera Dari kepentingan yang saling berkelindan. Ada yang mengusung retorika solidaritas, tetapi Di balik layar menjalin Politik Luar Negeri senyap Didalam Washington dan Tel Aviv. Ada yang lantang membela Palestina , tetapi ragu melawan arus kepentingan ekonomi dan Hubungan Dunia. Pertanyaannya tetap menggantung: apakah ini sekadar retorika yang menenangkan kegelisahan publik, atau benar-benar upaya nyata yang Berencana mengubah nasib Gaza?
Beberapa Negeri Arab, seperti Yordania dan Aljazair, masih mempertahankan sikap tegas Di mendukung Palestina. Tetapi, Negeri-Negeri Teluk seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab Memiliki kepentingan ekonomi yang Lebihterus Di Didalam Barat dan Israel. Di situasi seperti ini, solidaritas Di Palestina sering kali menjadi alat tawar-menawar politik. Malahan, Arab Saudi yang Sebelumnya dikenal sebagai pendukung utama perjuangan Palestina, kini cenderung Memutuskan pendekatan pragmatis Didalam Merencanakan dampak normalisasi hubungan Didalam Israel Di stabilitas regional.
Di tingkat Dunia, peran Amerika Serikat menjadi variabel Kunci. Steven A. Cook, Di bukunya The End of Ambition: America’s Past, Present, and Future in the Middle East, menyoroti bagaimana Keputusan AS Di Timur Di sering kali dipengaruhi ambisi yang tidak sejalan Didalam realitas politik kawasan. Di era Trump, Keputusan pragmatis-transaksional AS lebih fokus Di kepentingan jangka pendek ketimbang stabilitas jangka panjang. Trump melanjutkan Keputusan pro-Israel Didalam memperkuat hubungan Didalam pemerintahan Netanyahu dan mempercepat implementasi Abraham Accords. Pemberian AS Di pemukiman ilegal Di Tepi Barat dan sikapnya Di Gaza memberi tekanan Untuk Negeri-Negeri Arab Sebagai menyesuaikan diri Didalam strategi Washington.
Fragmentasi dan Ketidakefektifan Perserikatan Arab
Fragmentasi internal yang terus berlangsung menjadi tantangan utama Untuk Perserikatan Arab dan Lebihterus menghambat efektivitas Politik Luar Negeri regional. Perpecahan Di Negeri-Negeri Teluk, sikap ambivalen Mesir Di konflik Gaza, serta kepentingan strategis Turki dan Iran yang sering berbenturan Didalam Negeri-Negeri Arab lainnya menjadikan langkah kolektif sangat sulit. Tanpa kesatuan visi dan Aksi Massa, pernyataan bersama yang dihasilkan Didalam KTT hanya menjadi dokumen tanpa dampak nyata.
Kegagalan Perserikatan Arab Di merespons krisis regional—seperti Pertempuran saudara Suriah, intervensi Di Yaman, serta normalisasi Didalam Israel—Menunjukkan betapa besar dampak Didalam fragmentasi ini. Di Topik Palestina, misalnya, perbedaan sikap Di Israel Lebihterus melemahkan posisi tawar Palestina. Rashid Khalidi Di The Hundred Years’ War on Palestine Menunjukkan bagaimana Negeri-Negeri Arab lebih fokus Di agenda domestik daripada membela Palestina secara kolektif.
Sejarah mencatat bagaimana fragmentasi internal Perserikatan Arab menghambat respons Di agresi Israel Hingga Lebanon Di 1982. Ketika Israel melancarkan invasi Sebagai menumpas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), tidak ada respons militer atau diplomatik yang solid Didalam Perserikatan Arab. Fragmentasi serupa juga terjadi Di menangani konflik Gaza Di ini, Di mana perbedaan kepentingan antarnegara anggota menghambat tindakan yang lebih konkret.
Di Itu, peran Iran Di mendukung kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk fragmentasi ini. Negeri-Negeri Teluk yang pro-Barat dan Negeri-Negeri yang lebih terbuka Di pengaruh Iran, seperti Suriah dan Lebanon, Memiliki sikap yang berbeda Di Tehran. Ketegangan ini Lebihterus memperburuk Keputusan luar negeri Negeri-Negeri Arab secara keseluruhan, membuat mereka kesulitan Sebagai Membuat Keputusan kolektif yang efektif.
Dinamika internal Perserikatan Arab juga mencerminkan ketidakefektifan Politik Luar Negeri regional akibat kurangnya kesatuan strategis. Shibley Telhami Di The Stakes: America in the Middle East menegaskan bahwa Negeri-Negeri Arab sering kali tersandera Dari dinamika Hubungan Dunia Dunia, yang Lebihterus memperburuk fragmentasi. Ketidaksepakatan antarnegara Arab sering dimanfaatkan Dari kekuatan eksternal seperti Amerika Serikat dan Rusia Sebagai memperkuat posisi Hubungan Dunia mereka, Lebihterus memperumit krisis Di Timur Di.
Jalan Hingga Didepan: Retorika atau Tindakan Nyata?
Perserikatan Arab Berusaha Mengatasi dilema besar. Di satu sisi, mereka harus membuktikan bahwa pertemuan ini bukan sekadar ritual Politik Luar Negeri tahunan. Di sisi lain, mereka harus Berusaha Mengatasi kenyataan bahwa tanpa Pemberian nyata Didalam kekuatan Dunia, rekonstruksi Gaza Berencana tetap menjadi janji yang tak terwujud.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Perserikatan Arab, Gaza, dan Bayang-bayang Washington