Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
MANUSIA dan alam sekitarnya adalah dua faktor yang menentukan nasib dan masa Di kehodupan manusia Di satu generasi Di generasi berikutnya. Tetapi, keterhubungan dan saling pengaruh kedua faktor ini termasuk manusia dan sesamanya, tidak disadari Justru tidak dipahami manusia seutuhnya. Hal ini disebabkan adanya kelemahan filosofis fundamental cara berpikir dan cara pandang manusia mengenai alam Disekitar yaitu benda-benda fisik jiuga termasuk hidup Di dalamnya hewan, tumbuh- tumbuhan dan tidak lupa, manusia sesama.
Kekeliruan cara berpiiir dan cara pandang ini adalah sumber Di peristiwa-peristiwa seperti kerusakan lingkungan hidup Di alam aekitar/lingkungan fisik dan krisis perilaku dan krisis moral Di hukum dan penegakan hukum. Di Di hal manusia, krisis moral dan perilaku Di hukum dan penegakan hukum disebabkan adanya kekeliruan cara berpikir dan cara pandang manusia tentang makna eksistensi hukum Di Di kehidupan manusia Di hubungan sesamanya. Apakah kekeliruan cara berpikir dan cara pandamg tersebut merupakan sesuatu yqng dilahirkan atau dipelajari?
Masalah Untuk cendekiawan hukum bukan terletak Di fungsi hukum statis hanya mempertahankan keadaan yang bersifat status- quo melainkan Sebagai Gantinya, selalu menyoal fumgsi hukum yang Memberi pencerahan tentang peristiwa hukum yang sebenarnya atau fungsi hukum yang dinamis dan bagaimana seharusnya sikap dan perilaku penegak hukum Di menangani Perkara Hukum aquo. Bahwa selain cara berpikir dan cara pandang tentang hukum Di fungsi normatif – statis juga ia sepatutnya dan sepatutnya dipandang sebagai nilai (values), nilai merupakan kosakata yang tepat yang mencerminkan asas kepatutan (billlijkeheid) dan asas kepantasan (redelijkeheid).
Cara berpikir dan cara pandang hukum sebagai nilai Berencana menambah wawasan ahli hukum terutama praktisi hukum Memberi penilaian atas perilaku seseorang yang diduga telah melakukan Pelanggar hukum terutama Aturan Pidana Sebab Aturan Pidana merupakan pergulatan yang sarat Bersama kemanusiaan (alm. Roeslan Saleh). Jika demikian cara berpikir dan cara pandang hukum sebagai norma yang dinamis seharusnya, sepatutnya dan sepantasnya Mengkaji sila kedua Pancasila Di arti bahwa seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana, adalah bukan benda-mati, tetapi sosok manusia makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Apa maknanya? Hal ini berarti Sebelum seseorang diduga melakukan tindak pidana harus Disorot tidak bersalah sampai Bersama putusan berkekuatan hukum tetap kecuali dibuktikan Sebagai Gantinya.
Sepanjang proses Proses Hukum pidana Sebelum penyelidikan sampai penuntutan dan pemeriksaan sidang Lembaga Proses Hukum sampai Bersama 480 hari, setiap Individu Terduga/terdakwa, masih Memperoleh hak asasi yang melekat Di dirinya dan tidak boleh ada seseorang pun termasuk pemegang kekuasaan manapun beranggapan ia bersalah. Jika hal itu dilakukan maka jelas bahwa Individu Terduga/terdakwa telah Merasakan kezaliman yang dikutuk Allah Swt Tuhan Yang Maha Esa.
Filosofi pemidanaan Di Di Bangsa hukum yang dilandaskan Di Pancasila sebagai pandangan hidup seharusnya lebih mengutamakan how to restore the justice (restorative justice) ketimbang how to retribute the justice (retributive justice). Pemikiran tentang hukum (pidana) tersebut telah mewujud Di Tujuan Pemidanaan yang telah dicantumkan Di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Aturan Pidana (nasional).
Apa yang sering dihujatkan Komunitas awam Di seseorang pelaku kejahatan khususnya tindak pidana Penyalahgunaan Jabatan dan tindak pidana kesusilaan atau Membunuh Orang Lain sering tidak terkendali Agar pepatah sekali lancung Di ujian seumur hidup tidak dipercaya melekat Di pelaku tindak pidana. Berencana tetapi, berlakunya KUHP Mutakhir 2023 diharapkan terjadi perubahan sikap aparatur penegak hukum dan Komunitas awan Di seseorang yang diduga terlibat tindak pidana termasuk tindak pidana Penyalahgunaan Jabatan.
Mungkinkah? Masalah ini hanya dapat dijawab Bersama perubahan cara berpikir dan cara pandang Aparat Penegak Hukum (APH) Di seseorang yang terlibat Di sistem Proses Hukum pidana. Perubahan Di cara berpikir dan cara pandang tentang filosofi dan tujuan Aturan Pidana, keadilan retributif-pembalasan kepada keadilan restoratif- Terapi Kesejajaran hubungan pelaku dan lingkungan Komunitas tempat ia berdiam.
Pada terakhir Di Terapi hubungan ini telah Sebelum tahun 1960-an dikembangkan Di sistem pemasyarakatan Di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hakasasi Manusia (dahulu Kementerian Kehakiman), Berencana tetapi tetap saja tidak Menunjukkan hasil positif dan signifikan dan sumber masalahnya terletak Di filosofi dan tujuan awal Aturan Pidana yang terbukti keliru dilihat Di aspek efisiensi dan efektivitas produk Di sistem Proses Hukum yang telah berjalan Di 79 tahun sampai Pada ini.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Di Pelanggar Etika dan Pelanggar Hukum