Persidangan Perkara Pidana Hukum Timah Ke Lembaga Proses Hukum Tipikor PN Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024). FOTO/TANGKAPAN LAYAR RCTI
“Kerugian keuangan Bangsa dan kerugian Bangsa itu berbeda. Kerugian keuangan Bangsa pasti Yang Terkait Bersama Bersama APBN atau APBD, sesuai definisi Di undang-undang (Perundang-Undangan). Sambil kerugian Bangsa bisa berasal Di aspek lain, seperti kerusakan lingkungan. Tetapi, mengukur kerugian lingkungan bukan wewenang BPK atau BPKP, melainkan Dari ahli lingkungan,” kata Romli Atmasasmita sebagai saksi ahli yang dihadirkan Di persidangan Ke Lembaga Proses Hukum Tipikor PN Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024). Romli Atmasasmita hadir sebagai saksi ahli Di persidangan lanjutan Perkara Pidana Hukum PT Timah Bersama terdakwa Tamron, Hasan tjhi, Ahmad albani, Buyung (kwan yung), selaku pihak swasta.
Romli juga menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Yang Terkait Bersama Pasal 2 dan 3 Perundang-Undangan Tipikor yang menghapus istilah ‘dapat’ Di frasa menimbulkan kerugian Bangsa. MK menghapus kata ‘dapat’ Di Perkara Pidana Penyuapan Sebab bertentangan Bersama UUD 1945. Putusan ini Mengungkapkan bahwa kerugian Bangsa yang terjadi harus bersifat nyata dan pasti (actual loss) dan dapat dihitung Dari instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
“Jika kerugian hanya berdasarkan Prediksi, itu tidak dapat dijadikan dasar Dari hakim Di memutus Perkara Pidana tipikor. Hakim bebas Merencanakan, tetapi MK menegaskan bahwa kerugian harus konkret,” kata salah satu perancang Perundang-Undangan Tipikor ini.
Di Perkara Pidana Hukum timah, penggunaan hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dinilai bermasalah. Romli menyebut bahwa berdasarkan Undang-Undang Pemeriksaan Keuangan Bangsa, hanya BPK yang Memiliki dasar hukum Sebagai menghitung kerugian Bangsa.
“BPKP tidak Memiliki dasar hukum Sebagai menghitung kerugian Bangsa. Perannya hanya sebagai pengawas dan auditor internal Sebagai kementerian/lembaga pemerintah. Dasarnya pun hanya Peraturan Kepala Negara. Sebagai menghitung kerugian Bangsa yang resmi, itu adalah tugas BPK,” kata Guru Besar Aturan Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) ini.
Laporan yang digunakan Di Perkara Pidana Hukum PT Timah terkesan dipaksakan, terlebih Perkara Pidana Hukum ini menyasar pihak swasta yang merupakan partner kerja Di anak usaha BUMN tersebut.
“Bahasa saya, ini dipaksakan. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menjadi dasar pun tidak terlihat jelas. Kalau Ke level direksi (PT Timah) ada Kartu Kuning wewenang, itu masih masuk akal. Tapi kalau Ke swasta, belum tentu, Sebab mereka Memiliki perlindungan Di Perjanjian perjanjian,” ujarnya.
Sorotan lain datang Di tekanan publik Di moral hakim Di menangani Perkara Pidana Hukum ini. Romli menilai bahwa situasi ini menjadi tantangan berat, terutama Untuk lembaga lembaga hakim penindak Perkara Pidana Hukum tipikor. “Hakim sering dihadapkan Ke dilema. Dibebasin salah, enggak dibebasin dosa Ke atas kan. Kita lihat saja nanti masuk surga apa neraka dia,” katanya.
Artikel ini disadur –> Sindonews Indonesia News: Persidangan Perkara Pidana Hukum Timah, Ahli Hukum Sebut Kerugian Bangsa Hanya Bisa Dihitung Dari BPK