Jakarta –
Sembuh Untuk anak. Hanya itu yang ada Di benak Budi Hermawan, penyintas tuberkulosis resisten Terapi yang hidupnya sempat ‘divonis’ tersisa dua tahun.
Budi ingat betul bagaimana ia Berjuang Bersama keputusasaan Pada Praktisi Medis Mengungkapkan dua Terapi paling manjur Untuk pasien TBC tak lagi mempan melawan bakteri yang Lebihterus hari bak ‘menggerogoti’ tubuhnya. Situasi itu dinamakan multidrug resistant tuberculosis (TB-MDR) atau tipe tuberkulosis yang ‘kebal’ Di dua jenis antibiotik paling efektif Untuk menangani TBC, yaitu isoniazid dan rifampicin.
Semua ini bermula Di 2001, Budi kala itu hanya mengira Untuk batuk biasa. Herannya, batuk tak kunjung mereda sampai suatu malam keluhan lain muncul dan tentu mengganggu tidurnya.
“Di malam itu, saya berkeringat banyak, dan beberapa hari Lalu, saya mulai batuk darah. Saya pergi Di klinik Untuk berobat. Hasil rontgen saya Menunjukkan bahwa saya positif TBC, Karena Itu Praktisi Medis meresepkan beberapa Terapi TBC,” kenang Budi, Pada dihubungi detikcom, ditulis Rabu (7/8/2024).
Budi yang tak tahu banyak soal TBC Pada itu mengaku tak ambil pusing Untuk rutin memeriksakan diri Di Praktisi Medis. Terlebih, tiga bulan Setelahnya Perawatan, kondisinya sudah jauh lebih baik. Budi pikir, ia sudah sepenuhnya bebas Bersama TBC.
“Karena Itu saya tidak mau repot-repot memeriksakan diri Di Praktisi Medis lagi,” lanjut dia.
Tepat tujuh bulan setelahnya, Budi ternyata malah Merasakan Tanda-Tanda lebih parah. Batuk tak kunjung berhenti dan darah yang keluar lebih banyak. Budi bergegas kembali Di Fasilitas Medis.
Kali ini, Praktisi Medis menyarankan Budi Untuk meminum Terapi hingga Perawatan selesai. “Kalau dipikir-pikir, Pelatihan tentang TBC Pada itu masih kurang. Seharusnya saya disarankan Untuk minum Terapi sampai Perawatan selesai Di awal dinyatakan TBC.”
Rupanya, Perawatan Budi tidak semudah yang dibayangkan. Budi juga sudah mencoba berbagai jenis terapi non medis Di beberapa tahun, tetapi kondisinya tak berangsur membaik. Sampai Di 2011, ia berkenalan Bersama seorang Praktisi Medis muda.
“Berdasarkan hasil tes dahak, TB saya masih positif, Karena Itu ia menyarankan Untuk mengangkat sebagian paru-paru saya yang terinfeksi,” tuturnya.
Beban terasa Lebihterus berat, bukan hanya secara fisik dan psikis, tabungan Budi rasanya sudah terkuras habis. Kini, harus memikirkan biaya operasi yang sangat mahal.
“Karena Itu saya butuh waktu Untuk membicarakannya Bersama keluarga.”
Dua bulan Lalu, Budi kembali Di RS berniat Untuk melanjutkan operasi. Bak mukjizat, Budi rupanya diberikan kesempatan Untuk Perawatan Mutakhir yang sudah tersedia Di Indonesia, Supaya tak perlu melakukan operasi.
“Praktisi Medis menjelaskan bahwa kemungkinan besar saya terinfeksi TB-MDR, suatu bentuk TBC yang tidak merespons dua Terapi anti-TBC yang paling manjur. Hanya ada satu layanan TB-MDR Di Indonesia, yaitu Di Fasilitas Medis Persahabatan Di Jakarta.”
Sayangnya, perjuangan Budi tak selesai sampai Di situ. Pria yang berdomisili Di Bogor tersebut harus Berjuang Bersama kenyataan jika Untuk waktu yang lama, ia harus bolak-balik Jakarta.
“Saya tinggal Di Bogor, Karena Itu bepergian Di Jakarta setiap hari terasa tidak tertahankan. Tetapi, ketakutan terbesar saya adalah menulari keluarga saya sendiri. Saya Lalu bertanya kepada Praktisi Medis bagaimana jika berada Di posisi seperti saya. Lalu Praktisi Medis meyakinkan saya, kalau TBC bisa disembuhkan dan Pada itu Mutakhir ada harapan.”
Dulu, Untuk Merasakan hasil tes dahak saja membutuhkan waktu tiga bulan, mengingat Di 2011 Indonesia belum Memiliki tes molekuler cepat.
“Tiga bulan Lalu, hasil tes Mengungkapkan bahwa saya mengidap TBC-MDR dan harus menjalani Penanganan intensif. Saya pindah Bersama Tempattinggal keluarga saya Di Bogor dan menyewa kamar Di Didekat Fasilitas Medis. Itu adalah dua tahun yang paling melelahkan Untuk hidup saya. Saya terkuras secara fisik dan psikologis, dan saya kehilangan sebagian besar tabungan saya Untuk dua tahun.”
“Saya ngontrak nggak pulang Jakarta-Bogor dikarenakan saya tahu kalau sampai tertular sama anak, sama istri, ini bakal bagaimana. Lantaran buat saya sendiri saja ini suatu siksaan,” kenangnya.
Untuk perjalanan Perawatan, rasa putus asa nyaris selalu sulit dihindari. Terlebih, Untuk masa Perawatan yang berlangsung Untuk kurun waktu hampir dua tahun, ia harus menelan 26 butir Terapi secara rutin.
“Saya cuma bilang sama istri ‘Sudah ah nggak mau minum Terapi, malas’. Nggak lama, telepon saya berdering anak saya yang nyuruh minum Terapi. ‘Ayo Ayah minum Terapi yah, buat Bagas,'” tutur Budi.
“Saya minum. Saya mau sehat ngeliat anak saya tumbuh besar. Dulu itu yang ada Di pikiran saya umur nggak lama, Praktisi Medis Malahan pernah bilang nggak lebih Bersama dua tahun. Saya sebenarnya harapan yang Perawatan 10 tahun pertama itu juga sudah hilang harapan. Saya nggak Berencana tinggal lama lagi,” cerita Budi.
Titik Balik Hidup Budi
Terkena TBC menurutnya adalah titik balik hidup. Ia berjanji Pada sembuh Berencana mendedikasikan hidupnya Untuk membantu pasien lain yang tidak seberuntung dirinya.
Hari Sejahtera Budi sekaligus penepatan janjinya tiba Di 14 April 2013, paru-paru Budi dinyatakan bersih Bersama TBC. “Banyak pasien TBC berasal Bersama Tempattinggal tangga miskin. Lantaran stigma, beberapa Bersama mereka berisiko kehilangan pekerjaan.”
Pria 46 tahun itu kini fokus membantu memastikan hak-hak pasien TBC yang juga Merasakan diskriminasi Di tempat kerja, agar tidak menghambat Keuangan mereka Di Perawatan. Lewat Perhimpunan Organisasi Pasien (POP) TB, ia aktif melibatkan Komunitas Untuk melakukan kunjungan Tempattinggal dan membantu pasien TBC Di Penanganan mereka.
“Waktu terus berjalan. Kita perlu menemukan cara Mutakhir dan efektif Untuk menghentikan TBC. Mari bekerja sama Untuk menyelamatkan bangsa Bersama TBC,” pesan dia.
NEXT: Pembaruan Terapi TB RO
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Perjuangan Penyintas TBC Resisten Terapi, Butuh Puluhan Tahun Untuk Sembuh