Jakarta –
Perpustakaan Batu Api Di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat awalnya tidak hanya menyimpan Bacaan. Tempat itu, juga Tempattinggal Untuk audio (Bunyi) dan video (Layar Lebar) Di seluruh dunia Di berbagai genre, mulai Di jazz hingga dangdut.
Cahaya matahari menembus tumpukan Bacaan dibalik jendela Di bangunan yang tampak tidak terlalu besar, Akan Tetapi mampu menyimpan ribuan koleksi Bacaan, perpustakaan Batu Api.
Di detikJabar Berkunjung Ke perpustakaan ini, Selasa (8/10/2024), terdengar alunan Bunyi Di sudut ruangan, seakan menyihir suasana menjadi lebih nyaman. Tumpukan Bacaan yang disampul rapi seolah mengucapkan selamat datang.
Si pemilik, Anton Solihin, duduk Di sudut ruangan, bergelut Di laptopnya dikelilingi tumpukan Bacaan. dia membangun perpustakaan Batu Api Dari 1 April 1999.
Anton menceritakan kendati secara visual tempat itu penuh Akansegera Bacaan, ia justru memulai perjalanannya Di ketertarikan Akansegera Bunyi.
“Awal itu minatnya Bunyi, rekaman kaset, Piring hitam. Dulu kan suka nongkrong Di Cihapit, Bacaan belakangan aja. Bukunya harus kelihatan Sebab ini Di Di kampus, supaya keliatan interaktual,” ujar Anton.
Ya, perpustakaan yang berada Di Jl Raya Jatinangor No 142 A, Cikeruh, Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Di Di kawasan yang dihuni ribuan mahasiswa Di jumlah yang terus Menimbulkan Kekhawatiran setiap tahunnya.
Dulu, perpustakaan ini rutin melakukan beragam kegiatan, seperti pemutaran Layar Lebar setiap minggu Di tahun 2001 hingga 2019. Di Di Itu, Anton juga Melakukan diskusi Bacaan bersama organisasi kampus. Ia juga Memperkenalkan pembicara Di kalangan penulis hingga sejarawan.
Sayangnya, kegiatan tersebut terhenti Setelahnya Covid-19 Mengamuk dan belum dilanjutkan hingga Di ini. Ia menyampaikan, Di ini kegiatan serupa sudah banyak dilakukan.
Pengunjung Jarang yang Baca Bacaan
satu keresahan Anton Pada mengelola perpustakaan itu. Kendati banyak mahasiswa yang datang, Akan Tetapi hanya sedikit mahasiswa yang datang hanya Untuk membaca Bacaan.
“Di 100 paling 5% yang datang Untuk baca, sisanya itu dulu Untuk tugas kuliah. Nah kan sekarang tugas kuliah banyak pakai AI,” kata Anton.
Pria yang Kegemaran membuat kliping ini menggunakan kata ‘warung’ yang merujuk Di pustaka Batu Api ini. Bukan tanpa sebab, ia menjelaskan bahwa dirinya tidak Memperoleh latar Dibelakang ilmu perpustakaan. Ia tidak memahami sama sekali teknis Di perpustakaan. Meski begitu, ia tetap Menunjukkan keseriusannya Di membangun perpustakaan ini.
“Saya bukan anak jurusan perpustakaan, kategorisasi segala macem, saya tidak peduli. Sampai sekarang masih acak-acakan. Tapi kalau konten saya serius. Bahan yang sekiranya orang susah nyari, saya betulan simpen,” ujarnya.
Anton juga sering Membahas Di para pengunjung. Mulai Di Menyoroti Bacaan atau rekaman yang tersedia, hingga berkonsultasi Yang Berhubungan Di tugas kuliah.
Seperti yang disampaikan Salman (21), seorang mahasiswa yang sudah beberapa kali berkunjung Ke perpustakaan Batu Api. Tidak hanya datang Untuk membaca Bacaan, ia juga mencari bacaan sebagai Keinginan tugas kuliah.
“Bacaan yang aku cari, terutama soal politik atau Kearifan Lokal Global lebih lengkap dibandingkan perpustakaan lain. Bang Anton juga bisa diajak diskusi, soal ketersediaan Bacaan atau referensi topik yang Lagi dibutuhkan,” kata Salman sambil menggenggam sebuah Bacaan.
Hingga Di ini, tidak tahu pasti jumlah Bacaan, rekaman video maupun audio yang ada Di perpustakaan ini. Di awal dibangun, sudah ada Di 4.500 Bacaan. Sekarang, belasan ribu rekaman juga dikoleksi Dari Anton. Ia juga membagikan rekaman yang ada secara gratis.
Jika ingin menjadi anggota Di perpustakaan Batu Api, harus mendaftarkan diri Di biaya Rp 20 ribu. Di Di Yang Sama, biaya sewa Bacaan Pada seminggu dibanderol Rp 5 ribu.
Konversi Digital Tidak Membantu Tingkatkan Minat Baca
Keresahan lain yang dirasakan Anton adalah tidak ada pengaruh Konversi Digital Bacaan atau pun novel. Dia membandingkan Situasi Di masa orde Terbaru dan masa kini. Dulu, Di orba Di semua hal diseragamkan, mulai Di tontonan hingga pemikiran, orang-orang Melakukanlangkah-Langkah Untuk ‘berbeda’. Kini Di era digital yang penuh kebebasan, banyak yang memilih Untuk tetap ‘seragam’.
“Zaman Orde Terbaru kita semuanya dibuat seragam, tontonannya sampai apa yang dipikirkan seragam. Tapi kita Melakukanlangkah-Langkah Untuk menjadi berbeda. Sekarang saya justru lihat, orang harusnya punya imajinasi tak terbatas, tapi banyak yang Karena Itu seragam. Karena Itu kalau dibilang ada perubahan gara-gara digital, ternyata enggak juga,” kata dia.
Tidak lagi sekedar Kegemaran, mengoleksi Bacaan dan rekaman seakan menjadi jalan hidupnya. Perpustakaan ini tetap eksis Di Di Konversi Digital dan meningkatnya harga Bacaan Di pasaran.
“Sudah tidak bisa disebut Kegemaran saja Sebab sudah 25 tahun. Ternyata saya bisa hidup Di sini,” kata dia.
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Perpustakaan Batu Api Mengoleksi Bacaan, Menyimpan Keresahan